JAKARTA -- Johariah (53 tahun) masih berada di perahunya yang rapuh. Kamis (14/4) siang, dia bersikeras menetap di atas perahu yang mengambang di Kali Krukut, Jakarta. Di tengah desakan pemerintah, Johariah tak gentar dan memilih tidak akan menggeser perahu miliknya ke Kali Adem, sesuai arahan pemerintah.
"Dikasih waktu sampai jam empat sore nanti, katanya kalau enggak mau pindah bakalan 'digaruk' katanya," katanya dengan nada kesal. Johariah menjadi satu dari puluhan warga Kampung Akuarium, Pasar Ikan yang rumahnya digusur Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Meski mengaku ditawari untuk tinggal di rumah susun sewa, perempuan paruh baya ini menolak.
Johariah yang masih memiliki empat orang anak yang masih bersekolah tersebut keberatan jika harus tinggal di rusun yang disediakan. Dia menjelaskan, rusun yang diberikan dinilai tidak setimpal dengan kerugian yang dialaminya.
Meski ditawari rumah susun, Johariah bersama 'manusia perahu' lainnya tetap memilih bertahan. Paling tidak hingga pemerintah memberikan ganti rugi berupa bantuan uang tunai atas pembongkaran bangunan miliknya.
"Saya maunya ada ganti rugi biar bisa cari kontrakan di tempat lain. Disini diusir, disono diusir, matiin aja sekalian," kata Johariah ketus.
Muladi, Warga terdampak gusuran luar batang ini juga aktif mengumpulkan kayu di reruntuhan kampung akuarium dan pasar ikan. Bedanya, Muladi hanya mengumpulkan balok kayu berbagai ukuran.
Balok persegi setebal sekitar delapan centimeter baik panjang maupun pendek dia kumpulkan. Tujuannya, untuk membangun tempat berlindung dari panasnya terik matahari dan dinginnya angin malam ditambah gigitan serangga."Kan ada 12 RT yang kena gusur, bukan saya doang yang mengumpulkan kayu untuk bangun rumah baru," kata pria berkulit gelap itu.
Tumpukan kayu yang sudah dikumpulkan itu lantas dibawa menggunakan gerobak ke RT 2 RW 3 kampung luar batang. Bangunan semi permanen bakal dibangun Muladi sembari menunggu arahan nasib.
Di tengah kebingunan, Muladi bertahan di lokasi tempat tinggal barunya itu sembari merenung menetukan langkah kaki berikutnya. Bersama keluarga, Muladi berniat menetap tiga bulan dilokasi baru. "Mau kerja juga sulit. Biasa nangkap ikan tapi susah karena ada pengerukan tanah (reklamasi). Kalau dapat juga mau jual dimana pasarnya sudah tidak ada," keluhnya.
Muladi menatap tanah kelahiran di Pekalongan, Jawa Tengah kalau nasib tidak membawanya kearah yang lebih baik. Ya, pulang ke kampung halaman dipilih Muladi bersama keluarga ditengah ketidak pastian takdir di Jakarta atau pun Pekalongan.
Sumber : Republika.co.id
Tags
Berita